Selasa, 28 Mei 2013

Telur dan Pengocokan

Telur dihasilkan oleh hewan betina dari berbagai spesies baik burung, reptil, amfibi atau ikan. Telur telur burung dan reptil terdiri dari lapisan pelindung kulit telur (egg shell), putih telur (albumen) dan kuning telur (vitellus, egg yolk). telur yang umumnya dikonsumsi adalah telur ayam, bebek dan ikan.

Telur terbagi dalam 4 bagian, yaitu:


  • kulit (10%)
  • membran
  • albumen atau putih telur (60%)
  • kuning telur (30%)

Dari struktur telur disamping dapat digunakan sebagai acuan ciri-ciri telur yang mengalami penyimpanan dalam waktu lama, yaitu :
  • rongga udara membesar; semakin lama telur disimpan, maka rongga udara akan semakin membesar akibat berkurangnya kadar air pada putih dan kuning telur.
  • bercak-bercak pada kulit telur karena penyebaran air yang tidak merata.
  • kuning telur bergeser karena kalaza (tali pengikat kuning telur agar tetap berada di tengah) mulai terlarut.
  • penurunan jumlah putih telur karena serat glikoprotein ovomicum pecah.
  • penambahan ukuran kuning telur karena perpindahan air dari albumen (putih telur) ke kuning telur sebagai akibat perbedaan tekanan osmosis.
Komposisi pada telur ditunjukkan pada tabel berikut :

Dari tabel di samping dapat diketahui bahwa putih telur tinggi akan protein, sedangkan kuning telur tinggi akan lemak.












Bagian-bagian telur :


1.        Kulit Telur
Terdiri dari empat bagian yaitu:
a.      Lapisan cuticle atau bloom, merupakan bagian kulit yang paling luar dan sangat tipis serta transparan yang terdiri dari protein.
b.      Lapisan busa atau sponge layer dengan ketebalan 2/3 dari ketebalan kulit dan mengandung kalsium. Tebalnya lapisan busa ini menyebabkan karakteristik kulit telur yang mudah pecah.
c.        Lapisan mammilary merupakan lapisan tipis yang bersinggungan dengan spongy layer dan lapisan membran luar.

d.      Pori-pori, merupakan bagian yang memberikan tempat untuk pergantian udara dalam cangkang. Karena kulit berpori inilah maka telur rentan kontaminasi mikroorganisme.
 2.        Putih Telur
Putih telur atau albumen merupakan cairan dengan kadar protein 10%. Komponen lain non protein hanya berjumlah kecil. Albumen bersifat cair yang terdiri dari cairan kental dan cairan encer. Sebagian besar protein dalam albumen adalah ovalbumin. Protein telur yang lain adalah conalbumin, ovomucoid, ovomucin, lyzozyme (ovoglobulin G1), ovoglobulin G2, ovoglobulin G3, avidin, ovoinhibitor dan cystain. Ovalbumin terdiri dari 385 residu asam amino yang mudah terdenaturasi, misal dengan pengocokan. Lysozyme bersifat antimikrobia yang dapat menghidrolisis dinding sel bakteri gram positif. Ovoinhibitor bersifat menghambat aktivitas enzim protease seperti tripsin dan khimotripsin. Avidin mempunyai kemampuan mengikat biotin.

3.        Kuning Telur
Kuning telur merupakan emulsi minyak dalam air yang terdiri dari berat kering 50% dengan kompisisi berat kering lipid 65%, protein 31%, karbohidrat 4%, vitamin dan mineral. Komponen utama kuning telur adalah Lowdencity Lipoprotein (LDL) 68%, Highdencity Lipoprotein (HDL) 16%, livetins 10% dan phosvitins 4%. Kuning telur terikat kuat pada khalaza untuk mempertahankan keberadaannya tetap di tengah. Pada telur yang dipecahkan, khalaza bergabung dengan kuning telur. Kuning telur tersusun dari lapisan yang gelap dan terang yang bersifat konsentris atau melingkar.

Penggolongan Telur

Telur digolongkan berdasarkan ukuran dan kualitas. Berdasarkan ukurannya, telur dibagi menjadi :
Sedangkan berdasarkan mutu, telur diklasifikasikan menjadi mutu AA, A dan B. Faktor mutu yang dijadikan dasar penggolongan adalah kulit (kebersihan dan bunyi), ukuran rongga udara, putih telur (kejernihan dan kekompakan) serta kuning telur (batas yang jelas dan bebas dari cacat).
Untuk mutu telur utuh dapat dinilai secara candling, yaitu dengan meletakkan telur dalam jalur sorotan sinar yang kuat sehingga memungkinkan pemeriksaan bagian dalam dengan adanya penerangan. Metode candling memungkinkan penemuan keretakan pada kulit telur, ukuran serta gerakan kuning telur, ukuran kantong udara, bintik-bintik darah, bintik-bintik daging, kerusakan oleh mikroorganisme dan pertumbuhan benih.


Sifat Penting
1.  Koagulasi : putih telur mengalami koagulasi pada suhu 62C, sedangkan kuning telur mengalami koagulasi pada suhu 65C. Semua protein telur terkoagulasi kecuali ovomucoid dan phosvitin. Pada telur penyu, tinggi akan ovomucoid, hal ini menyebabkan telur penyu tetap cair walaupun telah dilakukan perebusan. Tetap cairnya telur penyu setelah direbus bukan berarti tidak matang. Telur telah matang, hanya komponennya yang tetap cair.
2.  Pembuihan : komponen telur yang dapat mengalami pembuihan adalah putih telur dengan protein yang berperan penting adalah ovomucin. 

Pengocokan yang sangat kuat pada putih telur akan menambahkan gelembung-gelembung udara sehingga terbentuk busa yang akan mempertahankan strukturnya ketika dipanggang. Busa putih telur yang banyak akan dapat diperoleh jika tidak ada lemak dalam campuran itu. Kuning telur mengandung lemak atau lipida, sehingga pemisahan putih telur dari kuningnya sangat penting. Mangkok atau alat lain dari plastik memiliki permukaan berpori sehingga dimungkinkan mengandung lemak yang menempel meskipun telah dicuci. Sedangkan permukaan gelas atau logam bebas lemak sehingga dapat menghasilkan busa yang cukup banyak.

Busa adalah dispersi koloid dari gelembung gas yang terperangkap dalam cairan. Untuk menghasilkan busa yang stabil diperlukan beberapa sifat tertentu dari cairannya. Sebagai contoh cairan dengan viskositas tinggi akan memfasilitasi terperangkapnya gelembung gas. Adanya surfaktan atau stabiliser yang secara struktural akan berada pada permukaan gelembung gas juga akan menambah kestabilan busanya. Tekanan uap yang rendah dari cairannya akan menurunkan kemungkinan dari molekul-molekul cairan yang mengelilingi gelembung untuk menguap dengan mudah yang dapat menyebabkan pecahnya busa.

Albumin dari putih telur adalah larutan protein yang akan langsung berbusa jika dikocok. Hasil penelitian menyebutkan bahwa protein ovomusin, ovoglobulin, dan konalbuminlah yang bertanggung jawab terhadap pembentukan busa. Protein akan berada pada permukaan udara-air dari gelembung udara dan mengalami denaturasi (unfold) untuk mendukung struktur busa. Denaturasi lebih lanjut terjadi ketika pemanasan (pemanggangan) menyebabkan koagulasi protein sehingga menghasilkan struktur yang lebih stabil. Penambahan gula ketika pengocokan meningkatkan pembentukan busa karena sifat higroskopik dari gula yang menyimpan air. Gugus hidroksil pada struktur gula akan membentuk ikatan hidrogen dengan air. Akan tetapi gula akan memperlambat denaturasi. Oleh karenanya pengocokan harus lebih kuat agar diperoleh busa yang sama banyak, terutama jika penambahan gula terlalu dini pada pengocokan. Penambahan cream of tartar (asam tartar) akan menurunkan pH larutan protein sehingga memfasilitasi denaturasi dan koagulasi protein. Sedangkan lemak, jika ada, juga cenderung berada pada permukaan udara-air dari gelembung udara. Akan tetapi berbeda dari protein, lemak tidak terdenaturasi tetapi akan mengalami koagulasi. Sehingga adanya lemak dalam campuran akan menurunkan kemampuan protein untuk mengalami denaturasi dan menstabilkan busa.
Jadi… setelah baca ini jangan lupa kalau kita menginginkan busa putih telur yang mengembang dengan baik dan stabil, pakailah mangkok gelas atau logam ketika pengocokan.

Lebih Jauh Tentang Sifat Fungsional Telur

Protein utama pada putih telur adalah ovalbumin yang menyusun lebih dari setengahnya. Conalbumin (ovotransferrin) merupakan protein putih telur terbesar kedua dengan jumlah antara 11-12% yang membentuk ikatan dengan zat besi dan copper serta ovomucoid. Protein lain dalam putih telur adalah globulin sebanyak 8%, lysozyme kurang dari 4% dan ovomucin kurang dari 2%. Protein lain yaitu avidin berada dalam jumlah kecil serta tidak diinginkan karena dapat mengikat biotin sehingga membuatnya tidak tersedia untuk mikroorganisme.
Kuning telur merupakan emulsi lemak dalam air yang mengandung 50% bahan kering. Komposisi kuning telur terdiri dari air, lemak dan protein.
Sifat fungsional telur

Sifat fungsional adalah sifat fisikokimia di luar sifat gizi yang memungkinkan telur menyumbang karakteristik yang diinginkan pada makanan yang didasarkan pada sifat komponen telur bila berinteraksi dengan komponen-komponen lain dalam sistem pangan yang kompleks. Sifat fungsional telur di antaranya adalah sebagai pengental, pembentuk buih, pengemulsi, dan sebagainya.

Pembentuk dan penjaga kestabilan buih

Buih merupakan dispersi koloid dari fase gas dalam fase cair, yang dapat terbentuk saat dikocok. Peran telur dalam membentuk dan menjaga kestabilan buih terutama ditentukan oleh putih telur. Protein globulin mempunyai kemampuan memudahkan terbentuknya buih, sementara kompleks ovomucin-lysozyme, ovalbumin dan conalbumin mempunyai kemampuan membuih stabil saat dipanaskan. Fraksi protein putih telur lainnya, seperti conalbumin, lysozyme, ovomucin dan ovomucoid sendiri mempunyai kemampuan membuih yang sangat rendah, tetapi interaksi antara lysozyme dan globulin mempunyai peranan penting dalam pembentukan buih. Kemampuan globulin dalam membentuk buih ini juga membedakan antara telur ayam dan telur itik. Telur itik mempunyai kadar globulin yang rendah sehingga tidak bisa membentuk buih dengan baik, berbeda dengan telur ayam yang mempunyai kadar globulin yang tinggi.

Proses pembentukan buih dimulai pada saat putih telur dikocok sehingga gelembung udara akan ditangkap oleh putih telur, dan terbentuklah buih. Selama pengocokan akan terjadi peningkatan dan penurunan ukuran dan jumlah gelembung udara. Daya buih merupakan ukuran kemampuan putih telur untuk membentuk buih jika dikocok dan biasanya dinyatakan dalam persentase terhadap volume putih telur. Buih yang baik memiliki daya sebesar 6-8 kali volume putih telur.

Daya buih putih telur akan mempengaruhi pengembangan adonan selama pemanasan. Kestabilan buih merupakan ukuran kemampuan struktur buih putih telur untuk bertahan kokoh atau tidak mencair selama waktu tertentu. Struktur buih yang stabil umumnya dihasilkan dari putih telur yang mempunyai elastisitas tinggi, sebaliknya volume buih yang tinggi diperoleh dari putih telur dengan elastisitas rendah. Elastisitas akan hilang jika putih telur terlalu banyak dikocok atau diregangkan seluas mungkin (Stadelman dan Cotterill, 1995).

Sifat pembentukan dan kestabilan buih berperan penting dalam adonan kue karena mempengaruhi kekokohan struktur kue yang dihasilkan. Pemanasan adonan kue mengakibatkan udara dalam sel memuai dan putih telur yang menyelubunginya meregang. Volume dan kestabilan buih yang bagus diperlukan agar kue yang dihasilkan mempunyai struktur dan tekstur yang bagus. Buih yang kurang stabil tidak dapat mendukung pengembangan kue secara maksimal.

Faktor yang mempengaruhi volume dan kestabilan buih adalah umur telur. Semakin lama umur telur, maka volume dan kestabilan buih putih telur ayam semakin menurun. Suhu telur juga mempengaruhi kemampuan putih telur dalam pembentukan buih. Telur yang disimpan pada suhu ruang mempunyai kemampuan membentuk buih dan tekstur lebih baik daripada telur yang didimpan pada refrigerator karena putih telur menjadi terlalu kental sehingga lebih sulit untuk dibuat buih.

Keberadaan lemak, meskipun dalam jumlah kecil juga akan mengganggu pembentukan buih dan menurunkan volume buih yang dihasilkan. Itulah sebabnya dalam pembuatan cake, putih telur dikocok terpisah dengan kuning telur, mentega atau sumber lemak yang lain agar menghasilkan volume pengembangan yang optimal. Penambahan gula diperlukan untuk menjaga kestabilan buih. Gula akan mengikat protein sehingga tidak terjadi pengendapan protein sehingga buih yang dihasilkan menjadi lebih stabil.

Telur sebagai bahan pengental dan pembentuk gel

Telur dapat digunakan sebagai senyawa pengental dan pembentuk gel karena mengandung protein yang dapat terdenaturasi dengan adanya panas. Perubahan komponen alami molekul protein karena pemanasan mengakibatkan terjadinya penggumpalan protein atau pembentukan gel. Suhu terjadinya penggumpalan protein dipengaruhi beberapa faktor seperti pH, adanya garam dan kecepatan kenaikan suhu. Pemberian panas pada putih telur juga mengakibatkan perubahan telur dari yang semula kental dan jernih menjadi keruh serta mempunyai sifat sebagai padatan yang elastis. Kuning telur juga meningkat kekentalannya pada saat dipanaskan, akan tetapi sensitivitas kuning telur terhadap pemanasan ini lebih rendah dibandingkan dengan putih telur (Charley and Weaver, 1998).

Keberhasilan penggunaan telur sebagai bahan pengental dan pembentuk gel tergantung suhu dan waktu pemasakan. Penggunaan suhu yang terlalu tinggi dan waktu berlebihan mengakibatkan terjadinya pengendapan yang berlebihan. Hasil yang baik akan didapatkan dengan suhu pemanasan yang tinggi dalam waktu singkat. Salah satu produk pangan yang menggunakan telur sebagai pembentuk gel adalah pudding, sedangkan saus dan custard merupakan contoh produk yang menggunakan telur sebagai pengental.

Pengemulsi

Emulsi adalah suatu sistem yang terdiri dari dua fase cairan yang tidak saling melarutkan, dimana salah satu cairan terdispersi dalam bentuk globula-globula di dalam cairan lainnya. Cairan yang terpecah menjadi globula-globula dinamakan fase terdispersi, sedangkan cairan yang mengelilingi globula-globula disebut medium dispersi atau fase kontinyu. Agar diperoleh fase terdispersi dan medium dispersi maka diperlukan emulsifier dan energi. Pada proses pembuatan emulsi dibutuhkan jenis emulsifier yang cocok dengan tujuan untuk memperoleh tipe emulsi yang diinginkan secara cepat dan ekonomis. Pada produk tepung dan pasta, emulsifier berfungsi untuk memodifikasi tekstur yaitu dapat menghomogenkan tepung dan mencegah penggumpalan sehingga adonan lebih konsisten dan seragam. Komponen yang berfungsi sebagai pengemulsi pada telur terutama terdapat pada kuning telur yaitu senyawa fosfolipid. Pada produk-produk jasa boga, kuning telur merupakan pengemulsi yang mudah dicari dan baik. Peran kuning telur sebagai pengemulsi ditentukan oleh kadar lesitin serta lipoprotein berdensitas rendah yang terdapat pada plasma kuning telur. Contoh penggunaan telur sebagai emulsifier adalah pada produk-produk cake, mayonnaise dan french dressing.

Bahan pengikat 

Penggunaan bahan pengikat pada beberapa produk bertujuan untuk mengurangi penyusutan pada waktu pengolahan, mempertahankan gizi, merangsang pembentukan citarasa, meningkatkan daya mengikat air, memperbaiki sifat irisan dan mengurangi biaya produksi. Telur sering digunakan sebagai bahan pengikat pada produk olahan daging karena sifat adhesivitasnya sehingga dapat mengikat bahan lain dan menghasilkan tekstur produk yang kompak. Meatball dan burger merupakan dua contoh produk pangan yang menggunakan telur sebagai bahan pengikat.

Telur sebagai penjernih

Penjernihan merupakan tahap terakhir dalam pembuatan wine yang berperan penting dalam kualitas wine yang dihasilkan. Warna, flavor dan aroma merupakan indikator dalam tahap penjernihan. Kejernihan merupakan salah satu kriteria kualitas yang diperlukan pada produk wine. Adanya partikel-partikel pada suspensi tidak hanya mempengaruhi penampilan wine saja, tetapi juga mempengaruhi aroma. Senyawa penjernih pada pembuatan wine digunakan untuk memperbaiki kejernihan, warna, flavor dan stabilitas fisik. Albumin telur telah lama digunakan sebagai senyawa penjernih untuk produk red wines. Albumin merupakan koloid alami yang mempunyai muatan positif sehingga dapat mengikat muatan negatif tannin yang menyebabkan kekeruhan dan flavor yang tidak diinginkan pada wine. Satu buah putih telur segar terdiri dari 3 – 4 g senyawa aktif sebagai penjernih, dan lebih baik dibandingkan putih telur beku.

Pada satu jenis produk pangan, telur dapat berperan pada lebih dari satu sifat fungsionalnya, sebagai contoh pada pembuatan biskuit. Penggunaan telur pada proses pembuatan biskuit akan meningkatkan dan memperkuat flavor, warna dan berfungsi sebagai pengemulsi. Telur juga memberi efek yang menguntungkan terhadap kerenyahan dan tekstur biskuit.

Bahan bacaan :
Charley, H., Weaver. C. 1998. Foods: A Scientific Approach. Prentice Hall. New Jersey.
Ikeme, A.I. 2008. Poly-Functional Egg: How can it be replaced? Inaugural Lecture of the University of Nigeria.
Stadelman, W. J. dan O. J. Cotteril. 1995. Egg Science and Technology. 4th Ed. Food Product Press. Hawort Press, Inc., New York
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet and M. Wootton. 1985. Departemant of Education and Culture Directorate General of Higher Education. International Development Program of Australian Universites and Colleges

Tidak ada komentar:

Posting Komentar